Selasa, 05 Januari 2010

Ekspor non migas Indonesia akan tumbuh 6%-7,5% di tahun 2010.


JAKARTA. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memprediksi volume ekspor non migas Indonesia akan tumbuh 6%-7,5% di tahun 2010. “Pertumbuhan ini akan lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2010 sebesar 5,1%,” kata Mari dalam konferensi pers di Jakarta (5/1).

Mari bilang, faktor yang membantu pertumbuhan ekspor secara volume itu adalah pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan mencapai 3,2% serta memabiknya perekonomian emerging market Asia. “Ada kecenderungan kenaikan permintaan dari emerging market seperti India, China dan Korea,’ katanya.

Negara yang ada di Asia tersebut membutuhkan banyak produk dari Indonesia seperti minyak Nabati dari kelapa sawit dan juga sumber energi sepertui batubara. Mari menyebutkan, bergeraknya ekonomi dikawasan Asia itu menggerek pertumbuhan ekspor Indonesia.

Ekspor non migas Indonesia akan tumbuh 6%-7,5% di tahun 2010.

JAKARTA. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memprediksi volume ekspor non migas Indonesia akan tumbuh 6%-7,5% di tahun 2010. “Pertumbuhan ini akan lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2010 sebesar 5,1%,” kata Mari dalam konferensi pers di Jakarta (5/1).

Mari bilang, faktor yang membantu pertumbuhan ekspor secara volume itu adalah pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan mencapai 3,2% serta memabiknya perekonomian emerging market Asia. “Ada kecenderungan kenaikan permintaan dari emerging market seperti India, China dan Korea,’ katanya.

Negara yang ada di Asia tersebut membutuhkan banyak produk dari Indonesia seperti minyak Nabati dari kelapa sawit dan juga sumber energi sepertui batubara. Mari menyebutkan, bergeraknya ekonomi dikawasan Asia itu menggerek pertumbuhan ekspor Indonesia.

Asnil Bambani Amri

Pertamina EP Percepat Pencarian Cadangan Migas


JAKARTA - PT Pertamina EP memulai pelaksanaan pemboran eksplorasi tepat 1 Januari 2010. Pemboran yang dilakukan di sumur eskplorasi Pondok Makmur (PDM-05) di kompleks Pondok Makmur C.

Sumur eksplorasi tersebut adalah sumur kelima yang dibor di lokasi Pondok Makmur dengan tujuan mengkonfirmasi besarnya cadangan minyak diwilayah tersebut. Sebelumnya, Pertamina EP telah berhasil menemukan cadangan minyak dan gas di di area Pondok Makmur.

Direktur Eksplorasi dan Pengembangan Syamsu Alam menegaskan bahwa kegiatan tajak sumur PDM-05 merupakan wujud nyata komitmen yang telah disepakati untuk melakukan pemboran satu sumur eksplorasi pada 1 Januari 2010, sekaligus merupakan upaya percepatan penemuan cadangan baru.

"Percepatan ini tidak terlepas dari dukungan kuat BPMIGAS kepada Pertamina EP melalui percepat persetujuan Work Planning & Budget (WP&B 2010) yang telah diberikan 9 Desember 2009," ujarnya, dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, di Jakarta, Selasa (5/1/2010).

Syamsu Alam menyatakan, konfirmasi cadangan di wilayah eksplorasi merupakan kegiatan lanjutan setelah diketemukannya kandungan hidrokarbon. Pada 2009, Pertamina EP telah berhasil melaksanakan 18 pemboran sumur eksplorasi yang meliputi sembilan pemboran sumur eksplorasi baru atau wildcat, tujuh sumur deliniasi, dan dua sumur re-entry. Pencapaian ini merupakan prestasi baru mengingat target yang telah ditetapkan di awal tahun hanya melaksanakan pemboran eskplorasi 12 sumur.

Dari 18 sumur 12 di antaranya telah menunjukkan adanya kandungan minyak dan gas yang cukup signifikan. Pencapaian ini merupakan optimalisasi dari target eksplorasi sehingga terdapat beberapa sumur yang seharusnya dilaksanakan pemboran pada 2010 tetapi dapat dilaksanakan di 2009. Lima sumur pemboran eksplorasi yang dipercepat pelaksanaannya berlokasi di Ginaya (Sumatera) dan empat sumur lainnya di Jawa yakni Pondok Mekar, Karang Degan, Karang Luhur, dan Akasia Bagus. Disamping itu saat ini Pertamina EP juga sedang berlangsung pemboran sembilan sumur lainnya, yang merupakan kelanjutan dari tambahan program 2009.

Kegiatan lainnya yang berhasil dilaksanakan di 2009 adalah survei sesimik 2D mencapai 1.991,2 km2 lebih tinggi daripada target sebesar 1.232 km2. Sementara untuk survei 3D saat ini telah mencapai 1.121 km2.

Pertamina EP merupakan Anak Perusahaan Pertamina (Persero) yang bergerak di bidang eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas di dalam negeri. Pertamina EP mencatatkan pertumbuhan produksi Minyak dari tahun ke tahun yang terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata (Capital Average Gross Ratio/ CAGR) mencapai 3,1 persen dari level produksi 95,6 ribu barrel per hari (MBOPD) di 2003 menjadi 102,2 MBOPD di 2006. Produksi ini mengalami pertumbuhan 6,7 persen di 2007 menjadi 110,3 MBOPD dan kembali naik sebesar 7,8 persen di 2008 dengan produksi rata-rata 116,6 MBOPD.

Hingga akhir 2009 Pertamina EP berhasil mencapai 127 ribu barel per hari. Angka tersebut melampaui target produksi 125,5 MBOPD. Berdasarkan data BPMIGAS, saat ini Pertamina EP menempati posisi kedua dalam peringkat 10 besar produsen Minyak setelah Chevron dan juga urutan kedua Produsen Gas setelah Total Indonesia.

Pro dan Kontra Dirut Pertamina



text TEXT SIZE :
Candra Setya Santoso - Okezone
Anggota Komisi VII DPR Effendi Simbolon. Foto: Koran SI

JAKARTA - Kabar burung kembali datang menghampiri perusahaan pelat merah. Kali ini, kabar mengenai pergantian Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan. Adanya konflik kepentingan penguasa menjadi alasan kuat pergantian sosok orang nomor satu di perusahaan minyak dan gas ini.

Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Effendi Simbolon pun angkat bicara mengenai permasalahan pergantian dirut Pertamina ini. Menurutnya, ketidakjelasan pemerintah dalam memberi alasan pergantian menjadi pertanyaan besar. Apakah Karen tidak dibutuhkan lagi atau tidak layak menjadi pemimpin perusahaan minyak dan gas pelat merah karena membukukan prognosa kinerja keuangan 2009 sebesar Rp343,805 triliun atau terjadi penurunan minus 38 persen dibandingkan pendapatan di 2008 (unaudited revenue) yang tercatat Rp554,208 triliun.

"Pemerintah jangan asal ngomong, tidak ada alasan yang jelas tentang pergantian direktur Pertamina kok tiba-tiba diganti. Kecuali ada dua alasan yang membawa masalah ini menjadi melebar," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Effendi Simbolon, saat berbincang dengan okezone, di Jakarta, Selasa (5/1/2010).

Dua hal yang dimaksud yakni, jika sosok Karen saat ini memang sudah tidak dibutuhkan lagi, terkait kinerja yang kurang memuaskan, dan kedua memang tidak layak lagi.

"Menurut saya ada dua hal kenapa masalah pergantian Karen ini mencuat. Pertama, Karen tidak diperlukan lagi karena keinginan penguasa. Kedua ya memang sudah tidak layak lagi. Saya sejak awal tidak setuju dengan penunjukkan sosok dia (Karen Agustiawan) sebagai orang yang tempat menggantikan Ari (Mantan Direktur Utama Pertamina)," tegasnya.

Dijelaskannya, ada konflik yang seharusnya perlu dijabarkan lebih detail lagi, tidak hanya masalah kinerja perusahaan minyak dan gas pelat merah ini yang telah dipimpin Karen kurang dari satu tahun ini. "Ini ada apa-apanya, kalau mau dijabarkan pasti semua bobrok yang ada juga patut dipertanyakan. Begitu juga dengan munculnya Dahlan (Direktur Utama PLN), bisa saja nanti pengganti Karen dari pengusaha. Ini ada kepentingan penguasa saja! Bahkan bisa saja nanti Panglima TNI diganti dari orang yang memiliki profesi Dokter," ungkapnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai selama hampir 10 bulan Karen menjabat sebagai Dirut Pertamina sudah cukup sukses. Kendati dia juga mempertanyakan alasan pemerintah terkait pergantian Karen tersebut.

"Karen Agustiawan sudah membuktikan selama 10 bulan jadi dirut merangkap direktur Hulu Perseroan, Karen telah berhasil menaikan lifting Pertamina dan bahkan Pertamina merupakan satu-satunya badan usaha Indonesia yang berhasil menaikkan produksi di tengah decline produksi migas secara nasional," ungkapnya.
(css)

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwawea dalam kasus korupsi penyalahgunaan dana di Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong M


VIVAnews - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyinggung peran mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwawea dalam kasus korupsi penyalahgunaan dana di Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas Bumi pada periode 2003-2008.

Hal ini terungkap dalam vonis mantan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muzni Tambosay yang dibacakan Selasa 5 Januari 2010.

Dalam pertimbangannya vonis itu, majelis hakim menyatakan Jacob Nuwawea pada posisi sebagai pembuat kebijakan yang merugikan keuangan negara. "Surat keputusan Menakertrans terkait pendirian dan pembubaran Yayasan Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas Bumi tidak memiliki dasar hukum," kata hakim Edward Pattinasarani.

Dengan demikian, majelis menilai seluruh tindakan yang dilakukan terdakwa Muzni Tambosay cacat hukum. "Terdakwa adalah pelaksana yang telah menggunakan uang tersebut yang tentunya dengan maksud dan tujuan tertentu," kata Hakim Edward.

Terdakwa, dinyatakan bersalah oleh hakim melanggar Pasal 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Tidak ditemukan alasan objektif dan subjektif yang dapat menghapus perbuatan terdakwa," kata Edward, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Menurut majelis hakim, sisa kekayaaan Yayasan Dana Tabungan Pesangon PB Migas seharusnya diserahkan kepada negara atau yayasan lain. Dalam kasus ini, Muzni divonis 3 tahun penjara.

Muzni yang ditemui usai persidangan mengaku dirinya merasa menjadi korban dalam perkara ini. "Mungkin saya bersalah, tetapi tidak seperti apa yang dituduhkan," kata dia, Selasa 5 Januari 2010.

PEMBAGIAN DBH KURANG TRANSPARAN


Senin, 04 Januari 2010
BATAM CENTRE- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) asal Kepri Drs Zulbahri menyebut tahun 2010 merupakan tahun perjuangan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Kepri. Untuk itu ia mengajak seluruh stake holder yang ada di Kepri mendukung terwujudnya pembagian DBH yang adil. "Boleh dibilang perjuangan untuk FTZ, kita sudah hampir final. Sekarang, di tahun 2010 ini saatnya seluruh elemen masayrakat Kepri bersama-sama memperjuangkan DBH untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kepri," kata Zulbahri usai melakukan reses di beberapa wilayah di Batam di Rumah Makan Bundo Kanduang, Batam Centre, Sabtu (2/1).

Sebelumnya, sejumlah elemen masyarakat Kepri sudah teriak-teriak soal DBH Kepri terutama DBH Migas yang pembagiannya tidak adil dan transparan. Mantan Ketua Komisi II DPRD Kepri Andi Anhar Chalid pernah menyatakan, data pemasukan dari penjualan minyak dan gas itu sampai saat ini masih belum jelas. Ini yang membuat Kepri sulit menghitung pembagian untuk Kepri secara adil.

Sedangkan mantan Ketua Komisi III, Lis Darmansyah, menyarankan agar Kepri dapat memiliki sebuah tim khusus untuk mengaudit hasil eksplorasi migas tersebut.

Dikatakan Zulbahri, selaku anggota Komite 4 DPD RI yang membidangi perimbangan dana pusat dan daerah (termasuk soal DBH dan pajak), maka dia akan memperjuangkan hal ini.

Aspirasi masyarakat Kepri yang selama ini terus tersumbat karena ketidaktransparan, sambung mantan Asisten II Pemko Batam ini, akan dibawa pada Paripurna DPD RI, 5 Januari 2010 ini.

"Selanjutnya, kita akan bentuk kaukus DBH di DPD Kepri bersama 13 daerah provinsi penghasil migas di Indonesia," kata Zul.

Di samping membentuk kaukus, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam ini mengatakan akan memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Energi, Sumber Daya Mineral Darwin Saleh untuk meminta penjelasan tentang implementasi UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

"Kalau perkiraan saya, DBH Kepri pada 2009 ini mencapai Rp30 triliun. Jika Kepri memperoleh 40 persen, maka Kepri bisa mengantongi Rp12 triliun dari hasil DBH Migas tersebut. Dana sebesar ini bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat," katanya.

Ditambahkan, jika DBH Kepri bisa terealisasi sebesar 40 persen tadi, maka setiap kabupaten/kota yang ada di Kepri bisa dibangun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tipe A, bisa mengatasi permasalah air dan listrik di Tanjungpinang, Karimun dan Batam, tersedianya pelantar-pelantar dan infrastruktur pendukung lainnya di hinterlanf dan bisa memaksimalkan sarana transportasi laut yang murah bagi masyarakat di seluruh Kepri.

"Apalagi kita berada di daerah perbatasan. Kita perlu kesejahteraan yang memadai. Karena kalau terjadi kesenjangan mencolok, maka kondisi ini sensitif bagi masyarakat," sebutnya.

#Gelar Seminar

Direktur Batam Institute, Anton Permana menyambut baik langkah-langkah perjuangan anggota DPD RI. Katanya, Batam Institute akan menindaklanjutinya dalam bentuk seminar yang akan mengundang pihak Menteri Keuangan, Pengamat Ekonomi, anggota DPD RI, anggota DPR RI dan Menteri ESDM.

"Segera perjuangan ini akan kita seminarkan dalam bulan ini," kata Anton.

Di tempat terpisah, Presidium Kahmi Batam Ibrahim Andreas mengemukakan, mendapatkan DBH Migas yang adil bagi Kepri sudah selayaknya diperoleh. Dia mendukung pendapat anggota DPD RI Zulbahri, kalau semua stake holder Kepri harus bergerak memperjuangkan hal ini.

"Ini adalah isu sangat penting bagi Kepri. Apalagi potensi ini ada di depan mata provinsi ini, sejatinya masyarakat bersama-sama memperjuangkan ini," ujarnya.

Anggota Kelompok Diskusi Anti (Kodat) 86, Yosfinoza menyatakan, kalau perlu ada sebuah gerakan yang berkesinambungan untuk merealisasikan keinginan ini. Katanya, wajar saja kalau masyarakat Kepri menuntut hak-haknya. Apalagi untuk sebuah kesejahteraan lebih baik.

"Kenapa Aceh bisa, Riau bisa malah Kepri melempem. Ini harus jadi kajian dan renungan kita bersama," kata Yos.

Ketua Forum Komunikasi lintas OKP dan LSM Kepri yang termasuk getol memperjuangkan ini mengancam akan membawa massa ke Jakarta, untuk demo Menteri Keuangan, Menteri ESDM dan DPR RI agar porsi pembagian DBH Migas ke Kepri bisa adil.

"Kalau kita, minta porsinya 50 persen buat Kepri," kata Thurman di Medan ketika dihubungi via ponselnya.

Data yang diperoleh dari Connoco Philips yang dirilis di websitenya menyatakan kalau lifting minyak (crude oli) 13 MBD pertahun, Natural Gas 104 MMCFD, NGL

RESIKO MIGAS


10 Risiko Terbesar Dalam Industri Migas
Posted on 15 Agustus 2008 by Rovicky

Rate This

Quantcast

Siapa sih yang bilang industri migas tidak berrisiko ? Semua pasti tahu. Dan selalu saja berpikir bahwa sukses rasio ngebor sumur minyak itu 1:10. Artinya ngebor sumur eksplorasi sampai sepuluh sumur yang dapat minyak atau gas cuman satu. Tapi dengan sukses rasio 10% segitu saja industri migas masih merupakan industri menggiurkan dan menguntungkan.

Tadi pagi sahabatku di mailist IndoEnergy memberitahukan ada artikel menarik yang ditulis oleh Rob Jessen, Global Oil & Gas Sector Leader, Ernst & Young di Journal Petroleum Technologi bulan July 2008. Rob menulisakan 10 risiko terbesar yang dihadapi industri migas saat ini.

Dan jangan kaget, ternyata risiko eksplorasi diatas tidak masuk dalam hitungannya.

Rob melakukan survey ini berdasarkan seleksi sesuai profesinya sebagai konsultan. Ke sepuluh risiko itu dibuat dalam 3 kategori ancaman utama seperti dalam gambar diatas, yaitu ancaman sektoral, ancaman operasional, dan ancaman yang bersifat makro. Sedangkan kesepuluh risiko-risiko itu adalah :
1. Kekurangan tenaga kerja – Human capital defisit

Ya kekurangan tenaga kerja. Saat ini hampir semua berteriak industri kekurangan tenaga kerja, terlebih-lebih tenaga di industri migas. Masih ingat kan tulisan lama disini : Bonus Masuk Kerja “Sejuta Dollar !!” dan Is the oil BOOM over ? (3) – The workforce challenge

:( “Tapi Pakdhe, kenapa di Indonesia masih sulit cari kerja ?”

:D “yang sulit itu mencari yang well trained atau experienced. Karena banyak yang kluar masuk sehingga perusahaan banyak yang enggan melakukan training”

Salah satu problem di Indonesia kenapa masih banyak yang pengangguran, barangkali antara lain karena kegagalan membuat proyek atau investasi. Barangkali juga mereka-mereka yang berpotensi mengeluarkan ide-ide proyek dan investasi ini sudah di”culik” oleh negara lain. Sehingga di dalam Indonesia kekurangan orang yang mampu untuk “create” kerjaan. Ya kurang orang yang “membuat kerjaan“, lebih banyak yang menunggu hanya menjadi pekerja saja.
2. Fiskal terms yang memburuk – Worsening Fiscal Terms

Risiko perubahan fiskal term ini dihadapi perusahaan migas dimana-mana di dunia ini. Terutama banyaknya usaha migas yang di nasionalisasi. Indonesia sakjane malah diperbagus (dipermudah), walaupun ada sedikit goncangan dalam soal Cost Recovery. Tetapi semestinya akan banyak investor uang akan menuju ke Indonesia dibandingkan ke negara-negara lain.
3. Kontrol biaya (cost control)

Ini bukan sekedar karena adanya cost recovery yang dikontrol oleh government looh. Cost control ini artinya perusahaan minyak tidak lagi mampu mengontrol biaya yang diperlukan dalam melakukan kegiatannya. Salah satu misalnya meningginya harga biaya pengeboran karena sewa rig, maupun harga baja untuk kebutuhan pipa maupun konstruksi. Ketidak mampuan mengontrol ini tentusaja mempersempit ruang gerak industri migas.

Diperkirakjan harga serta biaya konstruksi saat ini meningkat hingga menyebabkan kenaikan 79% sejak tahun 2000, terutama sejak May 2005.
4. Perebutan cadangan (Competition for Reserves)

Perebutan cadangan ini banyak teradi setelah banyaknya NOC (National Oil Companies) berebut cadangan dengan IOC (International Oil Companies. Apa itu NOC-IOC, silahkan baca tulisan lama ini ( Sepintas mengenal IOC - International Oil Corporation - dan Pergeseran peran NOC (National Oil Corporation) dalam kancah global energi). Saat ini banyak NOC yang ikutan bereksplorasi ke negara-negara lain. Petronas (malaysia), Petrobras (brasil), CNOOC (Cina) dll banyak yang juga ikut-ikutan berebut untuk eksplorasi ke negeri-negeri diluar negara nya. Tentunya ini akan mengurangi porsi IOC.
5. Hambatan politik untuk akses cadangan (Political Constraints on Access to Reserves)
http://rovicky.files.wordpress.com/2008/03/noc_1.jpg?w=237&h=169

World control on oil reserves

Saat ini lebih dari 75 % cadangan migas dunia dikuasai oleh NOC, sehingga banyak IOC yang kebingungan mau investasi. Tentusaja mereka berebut tidak hanya karena semakin sedikitnya oportuunity tetapi juga karena banyak NOC yang ikutan beroperasi menyainginya. Selain itu juga karena nasionalisasi serta bentuk service contract yang lebih menyulitkan bagi IOC.

Selama ini hambatan ini memang bukan menjadi faktor yang dominan. Kali ini hanya masuk rangking ke lima sebelum faktor2 diatas. Namun soal politik ini akan secara langsung maupun tidak mempunyai kaitan dengan dua risk factor (2 dan4) sebelumnya. Artinya pergolakan politik masih harus diperhitungkan masak-masak.
6. Ketidakpastian kebijakan energi (Uncertainty Energy Policy)

Menurut Rob ini termasuk dalam ancaman makro, artinya bukan hanya sekedar kebijakan salah satu negara atau pemerintah saja. Yang dimaksud disini misalnya kesepakatan global tentang emisi carbon. Ketidak pastian jual beli karbon dsb.

Jadi ketidakpastian terjadi dengan adanya kebijakan EHS (Environment, Safety, Helth), Lingkungan, KEselamatan dan KEsehatan. Paling tidak disini akan bertarung antara kepentingan lingkunganis (enviromentalist) dengan economist, mana yang akan menang ?
7. Kejutan Kebutuhan (Demand Shocks)

Apabila terjadi krisi ekonomi global, maka bisa dipastikan terjadi gangguan kebutuhan energi termasuk didalamnya minyak dan gasbumi. Resesi global juga dapat saja menjadi trigger munculnya kejutan-kejutan baru yang mempengaruhi iklim investasi industri minyak dan gas bumi. Termasuk didalamnya terutama kejutan yang muncul dari China. Sepertinya banyak yang meragukan kemampuan China untuk terus maju dengan laju yang ada saat ini. Banyak yang ragu China mampu untuk terus berekspansi. Kita lihat saja !.
8. Perubahan Iklim (Climate Concern)

Ternyata global warming juga dikhawatirkan oleh para investor-investor migas ini. Namun mereka lebih yakin adanya kerancuan pengertian diantara kejikajan dunia dengan pendekatan ilmiah (scientific). Kemungkinan akan muncul surprise tentang apa yang bakalan terjadi. Bisa saja scientis yang percaya akibat natural, ataupun politisi awam yang terkejut ternyata tidak terjadi seperti yang diberitakan selama ini.

:( “Pakdhe, apa jangan-jangan global warming itu hanya hoax ya ? Atau barangkali mirip Millenium Bug ? Dulu banyak mengeluarkan biaya milyaran, bahkan trilliunan dollar ternyata semua komputer di dunia aman-aman saja melewati tahun 2000 tuh :P “

9. Kejutan supplier (Supply Shock)

Tentunya ini bukan supllier barang-barang itu. Tapi supplier migas atau produsen migas. Misalnya perang di Timur Tengah yang mempengaruhi harga dalam beebrapa dekade lalu. Ataupun mungkin embargo minyak. Tentusaja yang dikhawatirkan adalah lonjakan harga yang tidak terkontrol. Karena semua akan terpengaruh oleh harga minyak.

Menurut sya salah satunya tentunya seandainya saja OPEC mampu mengontrol harga minyak seperti sebelumnya. Baca tulisan sebelumnya disini :Peran OPEC dalam “mengendalikan” harga minyak
10. Konservasi Energi (Energy Conservation)

Risiko terakhir ini konon dipicu oleh pendapat energy economist. Hemat energy selama ini sering ditinggalkan dalam mengkaji kebutuhan energi. Dan selama ini memang yang diuprek-uprek adalah dari disi supply.

Tentusaja di Indonesia sering terdengar himbauan penghematan energi. Termasuk dengan pengalihan hari kerja ke Sabtu-minggu sekali dalam sebulan itu. Tapi apakah kebijakan ini sudah tepat ? Ini yang perlu kita kaji ulang.

:( “Lah iya Pakdhe saja malah bilang “Wapres salah itung kaliii“

Namun menurut para energy economist ini, potensi penghematan sangat besar terjadi di negara-negara berkembang (OECD). Karena memang mereka saat ini pengguna terbesar dan terboros perkapitanya.
Risiko itu dinamis

Perlu diketahui bahwa kesepuluh risiko ditas bukan untuk selamanya. Ini hanya snapshot saat ini saja. Risiko bukan sesuatu yang statis, sifatnya dinamis dan berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain, dan berubah sepanjang waktu.

Menyoal kepatutan impor BBM untuk PSO Margin tipis sebabkan Pertamina lakukan impor

Baru-baru ini pemerintah telah menetapkan tiga badan usaha, yaitu PT Pertamina (Persero), PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), dan PT Petronas Niaga Indonesia sebagai penyedia dan distributor BBM bersubsidi 2010.

Penetapan dua perusahaan-AKR dan Petronas-bisa dikatakan merupakan pertama kali dalam sejarah negeri ini ketika badan usaha swasta dilibatkan dalam mengelola BBM bersubsidi di Indonesia.

Tidak dipungkiri, dua perusahaan swasta hanya diberi jatah sebanyak 0,02% dari total kuota BBM bersubsidi 2010 yang mencapai 36,5 juta kiloliter.

Selain soal kehati-hatian, hal yang lebih mengesankan dari sikap pemerintah justru permintaan agar badan usaha tidak main impor BBM.

"Jangan sampai Pertamina minta izin untuk ekspor, tetapi AKR justru meminta izin impor. Itu tidak pas. Ini juga berlaku kepada Petronas," kata Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo beberapa waktu lalu.

Bila merujuk ungkapan Evita di atas, ada suatu keinginan agar produk BBM bersubsidi berasal dari kilang dalam negeri.

Berbicara konteks kapasitas kilang di dalam negeri, baik milik Pertamina, PT Trans Pacific Petrochemical Indotama, Pusdiklat Migas Cepu, maupun Tri Wahana Universal, dan rencana pertumbuhan ekonomi ke depan, impor BBM merupakan pilihan yang tidak bisa dielakkan.

Menurut anggota Komite BPH Migas Jugi Prajogyo, kegiatan impor BBM terutama premium dan solar bisa mencapai 10 juta kiloliter-15 juta kiloliter per tahun karena tidak memadainya kapasitas kilang nasional. Betapapun, impor BBM bisa dikategorikan sebagai makruh.

Doyan impor

Menurut Jugi, ada tiga halangan yang sudah dipasang agar badan usaha tidak terlalu doyan impor BBM.

Pertama, Perpres 71/2005 menyebutkan impor baru diperbolehkan apabila produksi dalam negeri tidak cukup, dan impor harus dilengkapi dengan rekomendasi dari Menteri ESDM sebelum diizinkan Menteri Perdagangan.

Kedua, rekomendasi dari Menteri ESDM, yakni Ditjen Minyak dan Gas Bumi memiliki peran sentral untuk mengecek bagaimana kondisi stok dan pasokan domestik sehingga impor BBM diperlukan. Ketiga, dalam surat keputusan Kepala BPH Migas tentang penugasan PSO juga dicantumkan keharusan penyerapan produk dalam negeri.

Namun, sejauh ini harus diakui pemerintah gagal untuk 'memaksa' Pertamina memanfaatkan produksi kilang di luar milik BUMN itu. Jugi Prajogyo berdalih BPH Migas hanya memiliki kewenangan untuk meregulasi dan mensupervisi pelaksana PSO.

Adapun lisensi dan pemberian sanksi yang bersifat memaksa ada pada Ditjen Migas.

"Seharusnya memang ada sinergi yang kuat antara BPH dan Ditjen Migas. BPH Migas sendiri dalam dua kali penugasan tidak punya kewenangan untuk memaksa, seperti harus memakai produk kilang domestik," katanya.

Pertamina berdalih margin yang diperoleh sangat tipis apabila membeli BBM dari kilang domestik, sebab Pertamina harus membeli dengan rata-rata selisih Rp100 per liter di atas Mid Oil Platt's Singapore. Padahal, apabila diperoleh dengan jalan impor, Pertamina bisa mendapatkan harga 1%-2% di bawah MOPS.

Hal ini diakui Vice President Komunikasi Pertamina B. Trikora Putra. Menurut dia, kilang yang efisien di dalam negeri hanya kilang Balongan, yaitu dengan harga 1%-6% di bawah MOPS.

Jugi menuturkan menjadikan margin sebagai pijakan keputusan tidaklah salah jika Pertamina memosisikan diri sebagai entitas bisnis yang berorientasi laba. Akan tetapi, dalam konteks PSO Jugi menyarankan agar margin tidak menjadi pijakan utama.

Di sisi lain, produsen BBM nasional juga harus meningkatkan daya saingnya, setidaknya produk bisa dihargai setara dengan MOPS. Itulah harapan kita. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)

Peranan Nasional dalam Pengusahaan Migas Terus Berkembang



JAKARTA. Peran pihak nasional dalam pengusahaan bidang hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia terus berkembang. Dibandingkan era awal pengusahaan hulu migas sekitar seratus tahun lampau, peran nasional saat ini telah tumbuh menjadi sekitar 29 persen. Peran ini amat strategis dan penting mengingat pengusahaan hulu migas memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan beresiko tinggi.

"Sesuai dengan semangat pemerintah untuk senantiasa memajukan perusahaan nasional, saat ini perusahaan nasional yang terlibat telah mencapai 29% dibanding era awal pengusahaan migas di Indonesia," ujar Sutisna Prawira, Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral saat memberikan penjelasan singkat mengenai Peran Migas Bagi Pembangunan Nasional di Jakarta, Selasa (17/2).

Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen ESDM Sutisna Prawira menjelaskan, pengusahaan migas di Indonesia sudah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda, sekitar 100 tahun lalu. Seiring dengan perkembangan jaman, pengusahaan migas mengalami perubahan dan penyesuaian, terutama sejak kemerdekaan NKRI 1945 yang menetapkan pengusahaan migas dilakukan berdasarkan UUD 1945 dan diperuntukkan sebesar-sebesarnya bagi kemakmuran masyarakat.

Pada tataran operasionalnya, perkembangan pengusahaan migas diatur oleh Undang-Undang (UU) nomor 44 Prp. tahun 1960 tentang Pertambangan Migas. Secara berturut-turut UU tersebut disempurnakan oleh UU nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Migas Negara, dan saat ini berdasarkan UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.

Pengusahaan sumber daya migas memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan mengandung resiko investasi yang besar. Untuk itulah pengusahaan migas sejak awal telah membuka ruang bagi investor asing. Kendati demikian, seiring dengan berkembangnya kemampuan nasional, peran perusahaan nasional dalam bidang pengelolaan migas juga senantiasa memperlihatkan kemajuan.

Berdasarkan ciri pengusahaan sumber daya migas di atas dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara, sejak tahun 1964 telah diberlakukan pola Production Sharing Contract (PSC). "Pola ini menempatkan negara sebagai pemilik dan pemegang hak atas sumber daya migas. Sedang perusahaan sebagai kontraktor," papar Sutisna Prawira, Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen ESDM.

Pada pola PSC, investasi ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan (sebagai kontraktor). Resiko investasi antara lain berupa hilangnya modal karena tidak menemukan migas menjadi beban kontraktor. Namun jika mendapatkan migas, investasi yang telah dikeluarkan kontraktor di-cover oleh hasil produksi atau dikenal dengan cost recovery. Selain itu hasil produksi migas juga dibagi antara negara dengan kontraktor yang diatur dalam kontrak. Pada saat ini PSC sudah mengalami kemajuan dengan ditetapkan First Tranche Petroleum (FTP) yaitu sebelum investasi dikeluarkan untuk kontraktor dari hasil produksi; dipotong dahulu (sekitar 20%) untuk negara.

Pada perkembangannya, berdasarkan UU nomor 8 tahun 1971, kewenangan negara/pemerintah dalam pengusahaan bidang hulu migas di Indonesia diwakili oleh Pertamina. Selanjutnya, berdasarkan UU nomor 22 tahun 2001 dilakukan oleh Badan Pelaksana usaha Hulu Migas.

Selain telah memberikan peran bagi pihak nasional, sub sektor migas telah membuktikan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penerimaan/keuangan negara. Bahkan pada tahun 1980-an, peran sub sektor migas terhadap APBN pernah mencapai lebih dari 70 persen. Saat ini peran sub sektor migas terhadap penerimaan/keuangan negara sebesar sekitar 31,62 persen.

Berdasarkan study yang dilakukan oleh Wood Mackenzie (2007), penerimaan bagian pemerintah (government take) untuk pengusahaan bidang hulu migas di Indonesia mencapai 79% (USD 75/barel dari existing asset) atau di atas rata-rata negara lain yaitu sebesar 73% (USD 68/barel).

"Pemerintah telah bekerja keras untuk mengusahakan sumber daya migas sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Keterlibatkan investasi asing semata-mata bertujuan untuk keperluan ini. Negara dan pemerintah tetap sebagai pemilik dan pemegang sah atas sumber daya migas," kata Sutisna Prawira.

Perusahaan Nasional di Sektor Migas Baru 29% Written by Administrator





JAKARTA(SI) – Keterlibatan perusahaan nasional dalam industri minyak dan gas serta coal bed methane (CBM) nasional hingga saat ini masih minim, yakni hanya mencapai 29,1%.


Sementara perusahaan asing yang mengelola industri migas dalam negeri sebesar 60,4% dan konsorsium 10,4%. ”Ini posisi terbaru berdasarkan tanda tangan kontrak kerja sama (KKS) migas dan CBM 2001–Mei 2009,” kata Dirjen Migas Evita Herawati Legowo di Jakarta kemarin.

Sebelumnya, pemerintah menargetkan akan melibatkan perusahaan nasional dalam industri migas mencapai 50% di 2025 mendatang. Selain itu, target pemerintah berikutnya adalah menjaga produksi minyak di level 1 juta barel per hari (bph).

Dengan perkiraan rata-rata pertumbuhan kebutuhan energi di Indonesia mencapai 7% per tahun, Evita mengakui pencapaian target produksi di 2025 itu bukan pekerjaan ringan. Karena itu, pihaknya menargetkan elastisitas energi di bawah 1 dengan pemanfaatan energi alternatif mencapai minimal 17%.

Rinciannya, bahan bakar nabati (BBN) sebanyak5%; panasbumi5%; campuran seperti biomasa, air,dan angin 5%; dan batu bara cair 2%. Pada 2006 lalu, elastisitas energi Indonesia mencapai 1,8 dan tahun lalu menurun menjadi 1,6. Jika dibanding Jerman dan Jepang, Indonesia masih tertinggal karena tingkat elastisitas energi dua negara itu di bawah 1.

Pihaknya menargetkan pemakaian barang dan jasa lokal mencapai 91% dan penggunaan sumber daya mineral nasional sebesar 99%. Pihaknya tidak berani menargetkan angka 100% karena sifat industri migas yang padat modal, berteknologi tinggi, dan berisiko tinggi. Artinya, pihaknya masih membutuhkan investor asing.

”Masih harus ada tempat untuk asing,”ujar Evita. Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Departemen ESDM Edi Hermantoro menuturkan, dilihat dari tren KKS dari 2001–2008 mengalami peningkatan. Hal itu akibat UU No 22/2001 tentang Migas. ”Dalam konteks ini, tidak ada perbedaan (perusahaan) domestik dan internasional,”paparnya.

Berdasarkan UU tersebut,yang berhak melaksanakan kegiatan investasi adalah BUMN,BUMD, koperasi dan UKM, swasta nasional, dan swasta asing.Sementara untuk kegiatan industri CBM,didominasi perusahaan nasional dengan total nilai investasi CBM dari 2008–2009 mencapai USD64,2 juta.

Lokasi penyebaran CBM terbesar ada di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,dan Sumatera Selatan. Produksi CBM ini bisa dimanfaatkan untuk mendukung program gas kota.Pasalnya,potensi gas yang dihasilkan dari pengeringan sumur Blok CBM mencapai 0,2–0,4 mmscfd.

Dengan gas 1 mmscfd, lanjut Evita, bisa memenuhi kebutuhan energi ke 4.000 rumah tangga. Karena itu, pihaknya sedang merevisi aturan pengembangan CBM tersebut. Selain dengan mengeluarkan Permen No 1 dan No 3 untuk meningkatkan keterlibatan perusahaan nasional, juga menggunakan tenaga kerja Indonesia dan mengutamakan kontrak menggunakan jasa dan barang dalam negeri.

Tak hanya itu,Pihaknya juga mewajibkan KKS asing yang menemukan cadangan migas untuk memberikan jatah 10% ke BUMD. Sementara itu, Departemen ESDM telah memberikan rekomendasi kepada PT Pertamina (persero) untuk mengekspor avtur. Rekomendasi itu diberikan selama tiga bulan.

Evita Herawati Legowo mengatakan, pemberian izin tersebut lantaran Pertamina dinilai berhasil melaksanakan program pengalihan (konversi) minyak tanah ke elpiji. Keberhasilan program konversi tersebut membuat pasokan minyak tanah menjadi berlebih sehingga dapat dikonversi menjadi bahan bakar pesawat jet.

uLuEmz

Dreamer
Grab a Funny Picture from pYzam.com

Petroleum Engineering

Foto saya
Cirebon, West java, Indonesia
Huuuuyyy. . . . . W Kuliah di Akamigas Balongan Fakultas Teknik Perminyakan