Selasa, 05 Januari 2010

Menyoal kepatutan impor BBM untuk PSO Margin tipis sebabkan Pertamina lakukan impor

Baru-baru ini pemerintah telah menetapkan tiga badan usaha, yaitu PT Pertamina (Persero), PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), dan PT Petronas Niaga Indonesia sebagai penyedia dan distributor BBM bersubsidi 2010.

Penetapan dua perusahaan-AKR dan Petronas-bisa dikatakan merupakan pertama kali dalam sejarah negeri ini ketika badan usaha swasta dilibatkan dalam mengelola BBM bersubsidi di Indonesia.

Tidak dipungkiri, dua perusahaan swasta hanya diberi jatah sebanyak 0,02% dari total kuota BBM bersubsidi 2010 yang mencapai 36,5 juta kiloliter.

Selain soal kehati-hatian, hal yang lebih mengesankan dari sikap pemerintah justru permintaan agar badan usaha tidak main impor BBM.

"Jangan sampai Pertamina minta izin untuk ekspor, tetapi AKR justru meminta izin impor. Itu tidak pas. Ini juga berlaku kepada Petronas," kata Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo beberapa waktu lalu.

Bila merujuk ungkapan Evita di atas, ada suatu keinginan agar produk BBM bersubsidi berasal dari kilang dalam negeri.

Berbicara konteks kapasitas kilang di dalam negeri, baik milik Pertamina, PT Trans Pacific Petrochemical Indotama, Pusdiklat Migas Cepu, maupun Tri Wahana Universal, dan rencana pertumbuhan ekonomi ke depan, impor BBM merupakan pilihan yang tidak bisa dielakkan.

Menurut anggota Komite BPH Migas Jugi Prajogyo, kegiatan impor BBM terutama premium dan solar bisa mencapai 10 juta kiloliter-15 juta kiloliter per tahun karena tidak memadainya kapasitas kilang nasional. Betapapun, impor BBM bisa dikategorikan sebagai makruh.

Doyan impor

Menurut Jugi, ada tiga halangan yang sudah dipasang agar badan usaha tidak terlalu doyan impor BBM.

Pertama, Perpres 71/2005 menyebutkan impor baru diperbolehkan apabila produksi dalam negeri tidak cukup, dan impor harus dilengkapi dengan rekomendasi dari Menteri ESDM sebelum diizinkan Menteri Perdagangan.

Kedua, rekomendasi dari Menteri ESDM, yakni Ditjen Minyak dan Gas Bumi memiliki peran sentral untuk mengecek bagaimana kondisi stok dan pasokan domestik sehingga impor BBM diperlukan. Ketiga, dalam surat keputusan Kepala BPH Migas tentang penugasan PSO juga dicantumkan keharusan penyerapan produk dalam negeri.

Namun, sejauh ini harus diakui pemerintah gagal untuk 'memaksa' Pertamina memanfaatkan produksi kilang di luar milik BUMN itu. Jugi Prajogyo berdalih BPH Migas hanya memiliki kewenangan untuk meregulasi dan mensupervisi pelaksana PSO.

Adapun lisensi dan pemberian sanksi yang bersifat memaksa ada pada Ditjen Migas.

"Seharusnya memang ada sinergi yang kuat antara BPH dan Ditjen Migas. BPH Migas sendiri dalam dua kali penugasan tidak punya kewenangan untuk memaksa, seperti harus memakai produk kilang domestik," katanya.

Pertamina berdalih margin yang diperoleh sangat tipis apabila membeli BBM dari kilang domestik, sebab Pertamina harus membeli dengan rata-rata selisih Rp100 per liter di atas Mid Oil Platt's Singapore. Padahal, apabila diperoleh dengan jalan impor, Pertamina bisa mendapatkan harga 1%-2% di bawah MOPS.

Hal ini diakui Vice President Komunikasi Pertamina B. Trikora Putra. Menurut dia, kilang yang efisien di dalam negeri hanya kilang Balongan, yaitu dengan harga 1%-6% di bawah MOPS.

Jugi menuturkan menjadikan margin sebagai pijakan keputusan tidaklah salah jika Pertamina memosisikan diri sebagai entitas bisnis yang berorientasi laba. Akan tetapi, dalam konteks PSO Jugi menyarankan agar margin tidak menjadi pijakan utama.

Di sisi lain, produsen BBM nasional juga harus meningkatkan daya saingnya, setidaknya produk bisa dihargai setara dengan MOPS. Itulah harapan kita. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)

0 komentar:

Posting Komentar

uLuEmz

Dreamer
Grab a Funny Picture from pYzam.com

Petroleum Engineering

Foto saya
Cirebon, West java, Indonesia
Huuuuyyy. . . . . W Kuliah di Akamigas Balongan Fakultas Teknik Perminyakan